Pertama kali saya menginjakkan kaki di bumi Kalimantan Selatan ini pada pertengahan 1992, saat saya memutuskan menginjakkan kaki di sini hanya untuk mengunjungi salah satu kakak saya yang lebih dulu tinggal di sini, namun saya tidak akan meceritakan tentang diri pribadi saya di sini, namun saya akan menceritakan tentang apa yang saya lihat dan rasakan hidup ditengah – tengah masyarakat banjar Kalimantan Selatan ini.
Pada saat pesawat yang saya tumpangi hampir mendarat di Bandara Syamsudin Noor, ada pemandangan yang berbeda yang saya lihat , tidak seperti di kota – kota lain yang pernah saya singgahi yaitu dari ketinggian saya hanya melihat satu ruas jalan saja yang sangat panjang…
lho… koq jalannya cuma satu pikir saya.. mana jalan yang lainnya.. koq tidak ada…?..kotanya mana…? panas dan gersang lagi…!!
duuh…!!! ..Kalimantan…!!… pikir saya
Masih dalam keaadaan bingung, pesawat yang saya tumpangipun mendarat dengan mulus….. Alhamdulillah… selamat….akhirnya kesampaian juga kaki saya menginjak tanah Kalimantan . Setelah memesan taxi, saya pun menuju tempat tinggal saudara saya, menuju arah kota Banjarmasin, tepatnya di jalan A.Yani KM 8, dan ternyata benar, selama di perjalanan saya hampir tidak melihat adanya jalan lain, kecuali di sekitar bundaran Liang anggang, ada pertigaan di situ, mana panas dan gersang lagi, spertinya waktu itu pas musim kemarau , udara panas dan terik matahari begitu menyengat, saya jadi ingat penggalan komentar seorang artis ibukota waktu di infotainment, dia mengatakan begini.. ” O…Banjarmasin yah…? Banjarmasin yang jalannya cuma satu itu ” ….? mungkin yang dimaksud sang artis adalah jalan tadi, jalan dari arah Banjarbaru ke Banjarmasin yang memang menimbulkan kesan demikian bagi para pendatang baru, termasuk saya pada waktu itu, dan kalau mau lihat pemandangan seperti itu coba deh lihat di sini .
Namun seiring waktu berjalan, ternyata gambaran tentang kota Banjarmasin dan Kalimantan selatan yang masih tertinggal, hanyalah omongan orang-orang yang tidak atau belum pernah kesini, ternyata Banjarmasin tak ubahnya kota kota besar lain, ada Mall, Plaza, Hotel berbintang, gedung tinggi dan lain-lain, cuma satu yang tidak ada di sini yaitu Stasiun kereta, ya mudah-mudahan di masa yang akan datang disini juga akan ada kereta.
Itulah pengalaman saya waktu pertama kali ke Kalimantan selatan sekitar enam belas tahun lalu, tapi kini keadaan telah berubah, meskipun cuma sedikit penambahan ruas dan lajur ke kiri dan ke kanan jalan, namun kondisinya jauh lebih baik , namun ada hala yang sangat saya sayangkan, barisan pohon yang dulu ada kini berubah menjadi barisan ruko , sungai-sungai yang dulu menghiasi kiri dan kanan jalan dan dapat di lalui perahu kecil atau jukung serta masih bisa dipakai untuk mandi dan mencucui , kini menyempit manjadi genagan air yang kotor tak ubahnya seperti comberan. Yah itulah dampak dari suatu peradaban .
Masih tentang kehidupan di Kalimantan selatan, ada hal yang beda yang saya rasakan di kehidupan masyarakat banjar yang tidak saya temui di kota-kota lain yang pernah saya singgahi, begini ceritanya….
Pada waktu pertama saya datang ke sini saya singgah di sebuah kios kecil , untuk membeli sebungkus rokok, pada waktu transaksi terjadi, saat saya memberikan sejumlah uang kepada pedagang itu dan si pedagang itupun menyerahkan sebungkus rokok kepada saya, sepintas saya mendengar si pedagang mengatakan kepada saya… ” juallah..” , heeemm… saya pun bingung ..” ngomong apa orang ini ..? ” saya tidak tahu, apa yang harus saya katakan dan saya jawab..sayapun terdiam akibat ketidak mengertian saya.
Pada lain kesempatan hal seperti itu terulang lagi, dan hal sperti ini selalu saya dengar di setiap kesempatan transaksaksu jual beli di manapun di daerah ini, kembali saya dalam kebingungan, namun tak lama, ada seseorang pria yang membeli sebungkus rokok di kios tempat saya membeli rokok tadi, kembali si pedagang berkata ” juallah “, lalu si pria menjawab :
“..tukarlah…”. .
” lho…lho.. apa ini…? jual …tukar…jual ..tukar.. maksudnya apa ini..? ”
sayapun semakin kebingungan…, akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya tentang hal ini kepada si pedagang. Setelah bertanya kepada si pedagang, baru saya mengerti bahwa yang diucapkan antara pedagang dan pembeli tadi adalah ” Akad ” atau ucapan ijab kabul atas transaksi jual beli yang mereka lakukan tadi, ” juallah ” artinya atau maksudnya dalam bahasa Banjar adalah ” saya menjual “, sedangkan ” tukar lah ” artinya dalam bahasa Banjar ” menukar ” dan dalam bahasa Indonesia berarti ” membeli “,
Wah sungguh luar biasa, dan sangat membanggakan , satu lagi kebiasaan masyarakat Banjar yang terkenal religius dan lain dari pada yang lain, puluhan kota di Indonesia yang pernah saya datangi dan saya ketahui, tak satupun transaksi umum di pasar-pasar, kios-kios, toko bahkan kasir di swalayanpun yang mengucapkan akad atau ijab kabul tadi, tapi di Kalimantan Selatan hal demikian sudah umum dan biasa kita dengar ditempat- tempat seperti di atas, lagi pula hal ini sangat dianjurkan dan bahkan bisa dikatakan hukumnya wajib dalam Islam. Benar-benar sesutau yang beda yang patut di contoh oleh dareah lain.
Namun ada timbul pertanyaan dalam hati saya tentang adanya ” Kantin Kejujuran ” memang di situ orang orang di tuntut harus jujur, disitu orang – orang akan membeli dan membayar sesutu barang dengan system swalayan ambil barang sendiri dan bayar sendiri tanpa melibatkan penjual atau orang kedua, oke.. jujur adalah perbuatan yang baik, namun tidak adanya suatu akad jual beli yang di lakukan penjual dan pembeli, apakah di benarkan dalam islam..? tentu tidak, dan sepertinya system ini akan sulit diterapkan di Kalimantan Selatan ini.
Itulah sekelumit cerita tentang apa yang beda dan saya rasakan di Kalimantan selatan ini, sebenarnya masih banyak sesuatu yang unik dan menarik yang bisa di ungkap dari daerah ini, misalnya pasar terapung, pasar Intan Martapura dan lain sebagainya , namun saya kira cukup sampi disini dulu, mungkin di lain kesempatan, saya akan cerita lagi lewat media ini